Makalah Hukum Bisnis
Kredit Macet
Untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Hukum bisnis
Dosen Pembimbing : Prof.
Dr. Faisal Santiago, SH., MM
Disusun Oleh :
Nama : Indana Nadya Zulva
Nim : 15700039
Kata
Pengantar
Puji syukur saya ucapkan Kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkat dan Rahmat-Nya saya dapat menyusun
makalah yang berjudul “Kredit Macet” untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Bisnis.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak
terlepas dari bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak baik secara
langsung mau pun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kamimengucapkan terima kasih
kepada Prof. Dr. Faisal Santiago,SH,MM selaku dosen mata kuliah Hukum Bisnis yang telah membimbing saya dalam
penulisan makalah ini.
Saya menyadari
dalam penyusunan makalah ini, masih banyak kekurangan baik dari
segi bahasa maupun isi sehingga saya mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan dan untuk perbaikan di masa yang akan
datang.
Akhir kata saya
berharap agar makalah ilmiah tentang Hukum Bisnis ini dapat bermanfaat. Saya
mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang mempergunakan makalah ini sebagai
acuan.
Jakarta, Maret 2016
Indana Nadya Zulva
Daftar
Isi
Kata Pengantar ............................................................................................ii
Daftar Isi
......................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan
.......................................................................................1
1.1. Latar belakang
........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah
....................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian
....................................................................................
2
Bab II
Isi......................................................................................................
3
2.1 Pengertian Kredit……...........................................................................
3
2.2 Pengertian Kredit Macet…………........................................................
3
2.3 Kredit Macet yang diatur dalam UU
Perbankan…………....………….4
2.4 Kredit Macet yang diatur dalam UU
Perseroan Terbatas………………6
Bab III Penutup
...........................................................................................
8
3.1 Kesimpulan
............................................................................................8
3.2 Saran
.....................................................................................................8
Daftar pustaka
............................................................................................9
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebenarnya
terdapat banyak sekali penyebab kredit macet. Kredit macet dapat terjadi dari segi
internal maupun eksternal.
Salah satu
penyebab internalnya adalah dari pihak bank yang kurang memperhatikan 5c, yaitu
:
o Character adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti
sifat-sifat pribadi, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar
belakang keluarga maupun hobinya. Character ini untuk mengetahui apakah
nantinya calon nasabah ini jujur berusaha untuk memenuhi kewajibannya dengan
kata lain ini merupakan willingness to pay.
o Capacity merupakan kemampuan calon nasabah dalam
mengelola usahanya yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola
usaha (business record) nya, sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah
mengalami masa sulit apa tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Capacity ini
merupakan ukuran dari ability to play atau kemampuan dalam membayar.
o Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur
permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on equity,
return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah layak calon
pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon pembiayaan yang layak
diberikan.
o Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita
apabila ternyata calon pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya.
Collateral ini diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu
kesangsian dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta
yang mungkin bisa dijadikan jaminan.
o
Condition, pembiayaan yang diberikan juga perlu
mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon
nasabah. Ada suatu usaha yang sangat tergantung dari kondisi perekonomian, oleh
karena itu perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan usaha calon pelanggan.
Sedangkan dari
pihak nasabah adalah
1.
Nasabah tidak kompeten
2.
Nasabah tidak atau kurang pengalaman
3. Nasabah
kurang memberikan waktu untuk usahanya
4.
Nasabah tidak jujur
5.
Nasabah serakah
Bila dilihat
dari segi eksternal
Akibat
perubahan pada external environment diidentifikasi penyebab timbulnya kredit
bermasalah, seperti perubahan-perubahan political dan legal environment,
deregulasi sektor riil, finansial dan ekonomi menimbulkan pengaruh yang
merugikan kepada seorang debitur. Perubahan tersebut merupakan tantangan terus
menerus yang dihadapi oleh pemilik dan pengelola perusahaan. Satu kunci menuju
pengelolaan sukses dari suatu usaha adalah kemampuan mengantisipasi suatu
perubahan dan cukup fleksibel dalam mengelola usahanya. Problem loan akan
timbul oleh external environment sebagai akibat gagalnya pengelola dengan tepat
mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, seperti:
1.
Kondisi perekonomian
2.
Perubahan-perubahan peraturan
3.
Bencana alam
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
kredit macet diatur dalam UU Perbankan
2. Bagaimanakah kredit macet diatur dalam UU Perseroan
Terbatas
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Agar
mengetahui apa saja yang diatur didalam UU Perbankan mengenai kredit macet
2. Agar
mengetahui apa saja yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas mengenai kredit
macet
BAB II
ISI
2.1. Pengertian
Kredit
Arti kata “ kredit”yang
berasal dari bahasa Yunani “ credere” yang berarti kepercayaan akan kebenaran
dalam praktek sehari – hari .
Pengertian Kredit
adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan
suatu pinjaman dengan suatu janji, pembayaran akan dilaksanakan pada jangka
waktu yang telah disepakati.
Pengertian
kredit yang lebih mapan
untuk kegiatan perbankan di Indonesia telah dirumuskan dalam Undang – Undang
Pokok Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa kriteria adalah
penyediaan uang / tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan / kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melaksanakan dengan jumlah bunga sebagai
imbalan.
Dalam praktek sehari – hari
pinjaman kredit dinyatakan dalam bentuk perjanjian tertulis baik dibawah tangan
maupun secara materiil. Dan sebagai jaminan pengaman, pihak peminjam akan
memenuhi kewajiban dan menyerahkan jaminan baik bersifat kebendaan maupun bukan
kebendaan.
Sebenarnya
sasaran kredit pokok dalam penyediaan pinjaman tersebut bersifat penyediaan
suatu modal sebagai alat untuk melaksanakan kegiatan usahanya sehingga kredit (
dana bank ) yang diberikan tersebut tidak lebih dari pokok produksi semata.
2.2. Pengertian
Kredit Macet
Dalam
paket kebijakan deregulasi bulan Mei tahun 1993 (PAKMEI 1993), di Indonesia
dikenal dua golongan kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di
mana kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar,
kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit macet inilah yang sangat
dikhawatirkan oleh setiap bank, karena akan mengganggu kondisi keuangan bank,
bahkan dapat mengakibatkan berhentinya kegiatan usaha bank.
Kredit
macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat
adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar
kemampuan debitur.
Suatu kredit
digolongkan ke dalam kredit macet bilamana:
- · Tidak dapat memenuhi kriteria kredit lancar, kredit kurang lancar dan kredit diragukan; atau
- · Dapat memenuhi kriteria kredit diragukan, tetapi setelah jangka waktu 21 bulan semenjak masa penggolongan kredit diragukan, belum terjadi pelunasan pinjaman, atau usaha penyelamatan kredit; atau
- · Penyelesaian pembayaran kembali kredit yang bersangkutan, telah diserahkan kepada pengadilan negeri atau Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), atau telah diajukan permintaan ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Sejak
krisis keuangan yang berlanjut dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sejak tahun 1997, penyelesaian kredit macet bank-bank di Indonesia ditangani
oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Berkaitan dengan kasus kredit macet di Indonesia Menko Ekuin, Kwik Kian
Gie mengatakan bahwa sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai Rp 600 trilyun. Menurut
hemat kami hal ini tampaknya lebih disebabkan karena faktor kesengajaan. Betapa
tidak, sebagian besar dana kredit yang dimiliki bank disalurkan kepada debitur
kelompok usahanya sendiri, yang disebut perusahaan terafiliasi.
Dimana dalam penyalurannya kurang atau mungkin
tidak didasarkan pada studi kelayakan (feasibility study), dan bahkan besarnya
kredit yang mereka ajukan jumlahnya telah di ‘mark up’ terlebih dahulu. Sebagai
contoh adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional
(BUN), yang masing-masing secara berurutan menyalurkan 90,7% dan 78,4% untuk kepentingan kelompok usahanya sendiri.
2.3. Kredit Macet yang diatur dalam UU Perbankan
Menurut pasal 1 angka 11 UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU
Perbankan), Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan selanjutnya mengatur bahwa dalam
memberikan kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk
melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 29 ayat (3) UU
Perbankan selanjutnya mengatur bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank.
Penjelasan pasal 8 UU Perbankan menyebutkan bahwa untuk memperoleh
keyakinan atas itikad, kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
utangnya, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
Nasabah Debitur, yaitu si perusahaan penerima kredit tersebut.
1.
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis;
2.
bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur
yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur;
3.
kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
4.
kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan
persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
5.
larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau
pihak-pihak terafiliasi;
6.
penyelesaian sengketa
Jadi, perlu dilihat apakah dalam pemberian
kredit tersebut telah ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang dan kebijaksanaan perkreditan tersebut. Apabila ternyata
dalam pemeriksaan ditemukan bahwa dalam pemberian kredit prosedur yang ada
tidak dilakukan dengan benar, maka pengurus bank tersebut dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Hal ini sesuai dengan pasal 49 ayat (2) UU
Perbankan:
“Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau
pegawai bank yang dengan sengaja:
a) meminta atau menerima, mengizinkan atau
menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang
atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan
keluarannya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain
dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau
dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel,
surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun
dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan
penarikan dana yang melebihi Batas kreditnya pada bank;
b) tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah)."
lalai.
Saat ini masih terjadi perdebatan
mengenai bagaimana menentukan kerugian keuangan negara. Pasal 1 angka 22
UU No. 1/2004 memang menyatakan bahwa kerugian negara harus memenuhi
unsur-unsur “yang nyata dan pasti jumlahnya”, namun dalam praktik
putusan-putusan hakim berbeda-beda mengenai pembuktian unsur-unsur tersebut.
Perbedaan tersebut tercermin dalam dua putusan berikut:
1.
Dalam putusan kasus korupsi pada Sisminbakum (Sistim Administrasi Badan Hukum)
Kemenhukham dengan terdakwa Romli Atmasasmita, majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam pertimbangan mengakui angka pasti kerugian negara belum
ada, tetapi majelis yakin ada kerugian negara dalam kasus Sisminbakum. Majelis
hakim dapat menentukan kerugian negara, tandas majelis dalam pertimbangannya.
Pengadilan tingkat pertama memvonis Romli dua tahun penjara.
2.
Dalam putusan kasus korupsi pada Bank Mandiri dengan terdakwa tiga mantan direksi bank
BUMN tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam
pertimbangan berpendapat secara substansi Bank Mandiri tidak mengalami kerugian
sehingga negara juga tidak dirugikan. Pendapat majelis ini mengacu pada
definisi kerugian negara dalam pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang
benar-benar nyata. Kendati dibebaskan di tingkat pertama, namun di tingkat kasasi para mantan direktur Bank Mandiri divonis 10 tahun penjara.
Dari putusan-putusan di atas maka dapat
kiranya kami simpulkan bahwa ada-tidaknya kerugian keuangan negara tidak mutlak
bersifat nyata dan pasti jumlahnya, karena ada-tidaknya kerugian keuangan
negara dapat ditentukan/dihitung majelis hakim selama persidangan.
Dasar
hukum:
1.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
2.
Undang-UndangNo. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
2.4. Kredit
Macet yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas
Persoalan pertanggungjawaban pemegang saham perseroan
terbatas pada mulanya merupakan masalah yang kontroversial, karena tanggung
jawab pemegang saham dalam perseroan terbatas tidak boleh lebih dari nilai
saham yang diambilnya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.1/1995
(UUPT). Akan tetapi dalam keadaan tertentu tabir pemisah antara perseroan
terbatas dan para pemegang saham dapat disingkap oleh hakim (piercing the
corporate veil) sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 110 UUPT. Pemegang saham
dapat bertanggung jawab secara tidak terbatas atau terbatas adalah melalui
suatu proses pemeriksaan di pengadilan. Hakim akan menentukan apakah pemegang
saham perseroan terbatas melanggar norma Pasal 3 ayat 2 UUPT. Proses pengadilan
inilah yang akan membuktikan apakah ada piercing
the corporate veil pada PT bank apabila terjadi likuidasi PT bank akibat
kredit macet dan asset yang ada tidak mencukupi untuk membayar kepada kreditur.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam
penyelesaian pertanggungjawaban pemegang saham PT bank, yaitu pertama,
menggunakan hukum perusahaan melalui mekanisme piercing the corporate veil, dan
kedua, melalui hukum perbankan. Apabila terbukti pemegang saham secara langsung
atau tidak langsung menyebabkan PT bank mengalami kebangkrutan maka pemegang
saham dapat bertanggung jawab secara pribadi. Namun apabila tidak terbukti
tetapi PT bank tetap bermasalah, pemegang saham pengendali PT bank secara pribadi
tetap dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas dasar pernyataan kesanggupan
pemegang saham pengendali sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 hurup a angka 4)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 dan Pasal 25 ayat (2) hurup c PBI Nomor
5/25/PBI/2003. Dengan demikian, pemegang saham PT bank dapat dituntut
pertanggungjawaban secara pribadi walaupun tidak ada piercing the corporate veil.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kredit
Macet sebenarnya bisa dihindari bila kita dapat memperhatikan hal-hal yang
detailnya. Baik dari pihak bank maupun dari pihak nasabah. Kedua belah pihak
ini harus berusaha menjalankan tugasnya dengan baik agar terhindar dari kredit
macet tersebut.
3.2 Saran
Menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya saya akan
lebih fokus dan detail menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
Saran yang ingin
saya berikan terhadap pembahasan makalah diatas, harap lebih teliti dalam
melakukan segala hal agar terhindar dari hal-hal yang negatif.
Daftar Pustaka
5. Santiago,
Faisal.2012. Pengantar Hukum Bisnis. Jakarta:Mitra Wacana Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar